“FUNGSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA”
Makalah
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hukum Administrasi Publik” yang diampuh oleh Hayat, SAP., M.Si
Oleh :
Nizar Subqi Hamza (21601091151)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
OKTOBER
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. War. Wab
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas taufiq, hidayah ‘inayah-Nya, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Selanjutnya shalawat serta salam kami hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat beliau.
Makalah tentang Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia ini, merupakan tugas terstruktur dalam mata kuliah Hukum Administrasi Publik yang dibimbing oleh bapak Hayat, SAP., M.Si.
Dalam penulisan ini selain cukup memakan waktu dan tenaga, penyusun juga menyadari bahwa penulisan makalah ini dapat terwujud semata-mata disamping pertolongan Allah SWT, juga karena dorongan serta bantuan dari beberapa pihak yang telah mendukung terwujudnya makalah ini.
Akhirukalam, dengan penuh ikhtiar dan rasa rendah hati, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penyusunan dan penyempurnaan selanjutnya.dan juga penyusun berharap kehadiran makalah ini dapat menjadi wacana dan bermanfaat bagi kemajuan di dunia pendidikan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif, senantiasa terbuka bagi pembaca untuk upaya perbaikan tulisan ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat semakin terbuka dalam memberikan kritik bagi pelayanan publik. Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat. Reformasi dibidang kesehatan dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan menjadikannya lebih efisien, efektif serta dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 951/Menkes/SK/VI/2000 yaitu bahwa “tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal”.
Menurut Utrecht dalam buku Pengantar Hukum Administrasi Negara dalam Teori Sisa (Residu Theory), administrasi negara sebagai gabungan jabatan-jabatan administrasi yang berada dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian tugas pemerintah yang tidak ditugaskan pada badan peradilan dan pembuat Undang-Undang dan badan pemerintah yang lebih rendah (Utrecht, 1969:7). Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri istimewa yaitu beraspek: Hak Asasi Manusia (HAM), Kesepakatan internasional, Legal baik pada level nasional maupun internasional, Iptek yang termasuk tenaga kesehatan professional. Komponen hukum kesehatan tumbuh dari keterpaduan hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan hukum internasional.
Dalil yang berkembang dalam hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan dapat mencakup legalisasi dalam moral dan moralisasi dalam hukum sebagai suatu dalil yang harus mulai dikembangkan dalam pelayanan kesehatan. Secara normatif menurut UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, harus mengutamakan pelayanan kesehatan: 1.
Menjadi tanggung jawab pemerintah dan swasta dengan kemitraan kepada pihak masyarakat. 2. Semata-mata tidak mencari keuntungan. Dua batasan nilai norma hukum tersebut perlu ditaati agar tidak mengakibatkan reaksi masyarakat dan tumbuh konflik dengan gugatan / tuntutan hukum.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang ingin dijawab adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Fungsi HAN dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di Indonesia??
2. Bagaimana Undang-Undang Kesehatan di Indonesia?
3. Bagaimana Kebijakan Kesehatan di Indonesia?
1. Untuk Memberikan Penjelasan Tentang Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara.
2. Memahami tentang Peran HAN dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan.
3. Memperkaya wawasan keilmuan.
4. Untuk Mengetahui Kebijakan Kesehatan
1. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan mampu memberikan kontribusi posistif dan melengkapi pandangan mengenai peran hukum administrasi negara.
2. Mengetahui perkembangan pelayanan kesehatan di indonesia.
3. Bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, diharapkan dapat meningkatkan minat baca serta mencari referensi sebaga dasar sebagai dasar pembuatan makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
· Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
· Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
· Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
· Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
· Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja
kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab antara lain Karena keseluruhan hukum Tata Usaha Negara (TUN) itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal; Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga. Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
· Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
· Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
· Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
· Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
· Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
· Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
· Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
· Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.
Pelayanan Kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan norma, etika, hukum, dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen (Herlambang, 2016).
Mutu Pelayanan Kesehatan yang meliputi kinerja yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang tea ditetapkan (Kemenkes RI dalam Muninjaya Gde, 2010).
Menurut Donabedian (1980) dalam Bustami (2011), mengemukakan bahwa komponen pelayanan tersebut dapat terdiri dari masukan (input, disebut juga structure), proses, dan hasil (outcome).
1. Masukan (Input)
Masukan (Input) yang dimaksud disini adalah sarana fisik, perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, serta sumber daya manusia dan sumber daya (resources) lainnya di puskesmas dan rumah sakit. Beberapa aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah kejujuran, efektifitas dan efisiensi, serta kuantitas dan kualitas dari masukan yang ada.
Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Semua sumber daya yang ada perlu diorganisasikan dan dikelola sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur kerja yang berlaku dengan maksud pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh pelanggan secara baik.
2. Proses yang dilakukan
Proses adalah semua kegiatan atau aktvitas dari seluruh karyawan dan tenaga profesi dalam interaksinya dengan pelanggan, baik pelanggan internal (sesama petugas atau karyawan) maupun pelanggan eksternal (pasien, pemasok barang, masyarakat yang datang ke puskesmas atau rumah sakit untuk maksud tertentu). Baik atau tidaknya proses yang dilakukan di puskesmas atau di rumah sakit dapat diukur dari:
a. Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan
b. Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan
c. Mutu proses yang dilakukan.
Variabel proses merupakan pendekatan langsung terhadap mutu pelayanan kesehatan. Semakin patuh petugas (profesi) terhadap standar pelayanan, maka semakin bermutu pula pelayanan kesehatan yang diberikan.
3. Hasil yang Dicapai
Hasil (outcome) yang dimaksud di sini adalah tindak lanjut dari keluaran berupa hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga profesi serta seluruh karyawan terhadap pelanggan. Hasil yang diharapkan dapat berupa perubahan yang terjadi pada pelanggan, baik secara fisik-fisiologis maupun sosial-psikologis, termasuk kepuasan pelanggan. Hasil merupakan pendekatan secara tidak langsung, namun sangat bermanfaat untuk mengukur mutu pelayanan di puskesmas, rumah sakit, atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.
Menurut pohan, I (2003) dalam Prastiwi (2010), langkah pengukuran mutu tersebut dapat dipilah-pilah menjadi beberapa langkah sebagai berikut:
1. Pembentukan kelompok jaminan mutu pelayanan kesehatan
2. Penyusunan standar pelayanan kesehatan
3. Pemilihan tehnik pengukuran mutu
Pengukuran mutu dengan cara membandingkan standar pelayanan kesehatan dengan kenyataan yang tercapai. Menurut Donabedian, A (1982) dalam Prastiwi (2010), menganjurkan agar standar dan kriteria diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, hal ini pada prinsipnya sama dengan yang dianjurkan oleh World Health Organitation (WHO) yaitu:
1. Standar struktur/input
Standar struktur atau masukan menentukan tingkat sumber daya yang diperlukan agar standar pelayanan kesehatan dapat dicapai. Contohnya antara lain ialah: personel, pasien, peralatan, bahan gedung, pencatatan, keuangan, singkatnya semua sumber daya yang digunakan untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan seperti yang tersebut dalam standar pelayanan kesehatan.
Standar struktur antara lain ialah tenaga kesehatan yang kompeten, peralatan pemeriksaan, obat, kamar pemeriksaan, pasien dan waktu konsultasi harus ditentukan.
2. Standar proses/process
Standar proses menentukan kegiatan apa yang harus dilakukan agar standar pelayanan kesehatan dapat dicapai, proses akan menjelaskan apa yang dikerjakan, untuk siapa, siapa yang mengerjakan, kapan dan bagaimana standar pelayanan kesehatan dapat dicapai.
Dalam contoh standar pelayanan ISPA, maka sebagai proses adalah, petugas kesehatan memeriksa balita yang batuk, dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti apa yang telah ditentukan dalam standar pelayanan kesehatan. Semua hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dicatat dengan lengkap dan akurat dalam rekam medik.
3. Standar keluaran atau output
Standar keluaran atau output atau hasil pelayanan kesehatan ialah hasil pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai standar pelayanan kesehatan dan ini sangat penting. Kriteria ‘outcome’ yang umum digunakan antara lain:
a. Kepuasan pasien
b. Pengetahuan pasien
c. Fungsi pasien
d. Indikator kesembuhan, kematian, komplikasi dll.
Standar pelayanan kesehatan merupakan suatu alat organisasi untuk menjabarkan mutu kedalam terminologi operasional. Standar, indikator dan nilai ambang batas merupakan unsur–unsur yang akan membuat jaminan mutu pelayanan kesehatan dapat diukur. Indikator didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui adanya perubahan yang dikaitkan dengan target/standar yang telah ditentukan sebelumnya. Jenis-jenis indikator bisa dikelompokkan berdasarkan; Input(berkaitan dengan man, money, material, method dan management), process (berkaitan dengan proses yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu baik barang maupun jasa), output (berkaitan dengan sesuatu yang dihasilkan bisa dalam bentuk barang ataupun selesainya pekerjaan jasa), outcome (berkaitan dengan ukuran yang dirasakan pelanggan, biasanya merupakan persepsi pelanggan terhadap pemanfaatan layanan), benefit (berkaitan dengan ukuran terhadap manfaat bagi pelanggan atau bagi pemberi pelayanan) dan impact (berkaitan dengan ukuran dampak dari suatu produk secara luas dan biasanya jangka panjang).
Menurut Pohan, I (2003) dalam Prastiwi (2010), pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
1. Pengukuran mutu prospektif
Pengukuran mutu prospektif yaitu pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan diselengarakan. Oleh sebab itu, pengukurannya ditujukan terhadap struktur atau masukan pelayanan kesehatan dengan asumsi bahwa pelayanan kesehatan harus memiliki sumber daya tertentu agar dapat menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu, seperti:
a. Pendidikan profesi kesehatan
Pendidikan profesi pelayanan kesehatan ditujukan agar menghasilkan profesi pelayanan kesehatan yang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dapat mendukung pelayanan kesehatan yang bermutu.
b. Perizinan atau ‘Licensure’
Perizinan merupakan salah satu mekanisme untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan. SID (Surat Izin Dokter) dan SIP (Surat Izin Praktek) yang diberikan merupakan suatu pengakuan bahwa dokter tersebut memenuhi syarat untuk melakukan profesi dokter. Demikian pula halnya degan profesi kesehatan lain, harus mempunyai izin kerja sesuai dengan profesinya. Mekanisme perizinan belum menjamin sepenuhnya kompetensi tenaga kesehatan yang ada atau mutu pelayanan kesehatan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
c. Standardisasi
Dengan menerapkan standardisasi, seperti standardisasi peralatan, tenaga, gedung, sistem, organisasi, anggaran, dll, maka diharapkan fasilitas pelayanan kesehatan menjadi bermutu. Standardisasi akan membangun klasifikasi pelayanan kesehatan. Contohnya standardisasi pelayanan rumah sakit akan dapat mengelompokkan atau mengklasifikasikan rumah sakit dalam berbagai kelas tertentu, misalnya rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C dan kelas D. Rumah sakit jiwa kelas A dan kelas B.
d. Sertifikasi (certification)
Sertifikasi adalah langkah selanjutnya dari perizinan. Misalnya, pengakuan sebagai dokter spesialis adalah sertifikasi. Di Indonesia perizinan itu dilakukan oleh departemen kesehatan atau dinas kesehatan sedang sertifikasi oleh pendidikan profesi (Dpdikbud, CHS, Organisasi Profesi).
e. Akreditasi
Akreditasi adalah pengakuan bahwa suatu instuisi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit telah memenuhi beberapa standar pelayanan kesehatan tertentu. Indonesia telah melakukan akreditasi rumah sakit umum yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan.
Pengukuran mutu prospektif terfokus pada penilaian sumber daya, bukan kinerja penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ini merupakan salah satu kekurangan pengukuran mutu dengan cara prospektif (Prastiwi, 2010).
2. Pengukuran mutu konkuren
Pengukuran mutu konkuren yaitu pengukuran pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan selama pelayanan kesehatan sedang berlangsung, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung dan kadang-kadang perlu dilengkapi dengan melihat rekam medik, wawancara dengan pasien/keluarga/petugas kesehatan, dan melakukan pertemuan dengan pasien/keluarga/petugas kesehatan.
3. Pengukuran mutu retrospektif
Pengukuran mutu retrospektif yaitu pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sesudah pelayanan kesehatan selesai dilaksanakan dan biasanya merupakan gabungan beberapa kegiatan yang berikut:
a. Menilai rekam medik
Memeriksa dan kemudian menilai catatan rekam medik atau catatan lain dan kegiatan ini disebut sebagai audit.
b. Wawancara
Wawancara dengan pasien dan keluarga/teman/petugas kesehatan.
c. Membuat Kuisioner
Membuat kuisioner yang dibagikan kepada pasien dan keluarga/teman/petugas kesehatan.
d. Melakukan pertemuan
Melakukan pertemuan dengan pasien dan petugas kesehatan terkait.
Program menjaga mutu adalah suatu upaya yang dilakukan secara berkesinambungan, sistematis, objektif dan terpadu dalam menetapkan masalah dan penyebab masalah mutu pelayanan kesehatan berdasarkan standar yang telah ditetapkan, menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan yang tersedia, serta menilai hasil yang dicapai dan menyusun saran-saran tindak lanjut untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan (Herlambang, 2016).
Menurut Herlambang (2016), menyatakan bahwa manfaat dari program jaminan mutu adalah:
1. Dapat Meningkatkan Efektifitas Pelayanan Kesehatan
Peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan ini erat hubungannya dengan dapat diatasinya masalah kesehatan secara tepat, karena pelayanan kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi ataupun standar yang telah ditetapkan.
2. Dapat Meningkatkan Efisiensi Pelayanan Kesehatan
Peningkatan efisiensi yang dimaksudkan ini erat hubungannya dengan dapat dicegahnya pelayanan kesehatan yang dibawah standar ataupun yang berlebihan. Biaya tambahan karena harus menangani efek samping atau komplikasi karena pelayanan kesehatan dibawah standar dapat dihindari. Demikian pula halnya mutu pemakaian sumber daya yang tidak pada tempatnya yang ditemukan pada pelayanan yang berlebihan.
3. Dapat Meningkatkan Penerimaan Masyarakat Terhadap Pelayanan Kesehatan
Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya pelayanan kesehatan dengan kebutuhan dan tuntutan pemakai jasa pelayanan. Apabila peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan, pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
4. Dapat Melindungi Penyelenggara Pelayanan Kesehatan dan Kemungkinan Timbulnya Gugatan Hukum
Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan masyarakat, maka kesadaran hukum masyarakat juga telah semakin meningkat. Untuk mencegah kemungkinan gugatan hukum terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan, antara lain karena ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan, perlulah diselenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya.
Dari uraian tersebut, mudah dipahami bahwa terselenggaranya program menjaga mutu pelayanan kesehatan mempunyai peranan yang besar dalam melindungi penyelenggara pelayanan kesehatan dan kemungkinan timbulnya gugatan hukum, karena memang pelayanan kesehatang yang diselenggarakan telah terjamin mutunya.
Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relatif masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Subyek-subyek hukum dalam sistem hukum kesehatan adalah:
a. Tenaga kesehatan sarjana yaitu: dokter, dokter gigi, apoteker dan sarjana lain di bidang kesehatan.
b. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah; (1). bidang farmasi (2). bidang kebidanan (3). bidang perawatan (4). bidang kesehatan masyarakat, dll.
Dalam melakukan tugasnya dokter dan tenaga kesehatan harus mematuhi segala aspek hukum dalam kesehatan. Kesalahan dalam melaksanakan profesi kedokteran merupakan masalah penting, karena membawa akibat yang berat, terutama akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan. Suatu kesalahan dalam melakukan profesi dapat disebabkan karena Kekurangan; (1) pengetahuan (2) pengalaman (3) pengertian. Ketiga faktor tersebut menyebabkan kesalahan dalam mengambil keputusan atau penilaian. Contoh: kejadian tindakan malpraktek Malpraktek adalah suatu tindaka praktek yang buruk, dengan kata lain adalah kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya, apabila hal tersebut diadukan kepada pihak yang berwajib, maka akan diproses secara hukum dan pihak pengadilan yang akan membuktikan apakah tuduhan tersebut benar atau salah. Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kelalaian dalam menjalankan profesi ialah; 1. Meningkatkan kemampuan profesi para dokter untuk mengikuti kemajuan ilmu kedokteran atau menyegarkan kembali ilmunya, sehingga dapat melakukan pelayanan medis secara profesional.
Dalam program ini perlu diingatkan tentang kode etik dan kemampuan melakukan konseling dengan baik. 2. Pengetahuan pengawasan perilaku etis. Upaya ini akan mendorong dokter untuk senantiasa bersikap hati-hati. Dengan berusaha berperilaku etis, sehingga semakin jauh dari tindakan melanggar hukum. 3. Penyusunan protokol pelayanan kesehatan, misalnya petunjuk tentang “informed consent”. Protokol ini dapat dijadikan pegangan bilamana dokter dituduh telah melakukan kelalaian. Selama dokter bertindak sesuai dengan protokol tersebut, dia dapat terlindung dari tuduhan malpraktek.. Beberapa contoh malpraktek di bidang hukum pidana:
1. Menipu Pasien
2. Membuat surat keterangan palsu
3. Melakukan pelanggaran kesopanan
4. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis
5. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau lukaluka
6. Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh pasien
7. Kesengajaan membiarkan pasien tidak tertolong
8. Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut
9. Memberikan atau menjual obat palsu
10. Euthanasia
Keberhasilan pembangunan nasional telah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap pelayanan jasa-jasa yang mereka terima, termasuk pelayanan dokter, perawat, bidan, apoteker, dan lain-lain. Dengan meningkatnya kesadaran hukum ini, tidak jarang masyarakat mencampurbaurkan antara etika dan hukum. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak mengetahui perbedaan dari keduanya yang sama-sama berpegang pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Kebijakan kesehatan Indonesia dibuat berdasarkan keputusan-keputusan sebagai berikut:
1. S.Kep Men Kes RI No 99a/Men.Kes /SK/III/1982 Tentang berlakunya SistemKesehatan Nasional.
2. TAP MPR RI VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
3. Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang pokok-pokok kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 574/ Men.Kes. `/SK/IV/2000 tentang Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat tahun 2010.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 1277/Men. Kes/SK/X/2001 tentang Susunan organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
BAB III
PENUTUP
Dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan maka perlu melaksanakan profesi seorang dokter yang harus mentaati etik kedokteran supaya terhindar dari jeratan hukum kedokteran yang merupakan bagian dari hukum kesehatan.
Standar mutu pelayanan kesehatan terbagi menjadi 2 yaitu standar persyaratan minimal yaitu menunjuk kepada keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bermutu dan standar penampilan minimal yaitu menunjuk kepada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diterima.
Kaidah hukum diperlukan dalam mengatur hubungan antar manusia, sehingga tidak mengherankan jika dewasa ini aspek hukum juga terkait dengan bidang kesehatan.
Perkembangan malapraktek masih sering terjadi, meskipun peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal tersebut telah ada.
Di dalam Pengukuran mutu pelayanan kesehatan terdapat beberapa langkah-langkah yaitu pembentukan kelompok jaminan mutu pelayanan kesehatan, kemudian menyusun standar pelayanan kesehatan setelah itu memilih tehnik yang akan digunakan dalam pengukuran mutu kemudian melakukan pengukuran mutu dengan cara membandingkan standar pelayanan kesehatan dengan kenyataan yang tercapai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi :
"http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2015/11/JURNAL%20ADE%20(11-13-15-01-45-04).pdf"
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjajaran, Bandung, 1960
Bustami. 2011. Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan & Akseptabilitasnya. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Herlambang, Susatyo. 2016. Manajemen Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. Gosyen Publishing. Yogyakarta
Prastiwi, Elyana Niken. 2010. Analisis Mutu Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) melalui Audit Kematian di Rsud Kota Bekasi Tahun 2009. Universitas Indonesia. Depok
No comments:
Post a Comment