Friday, January 12, 2018

Teori Birokrasi Publik (KONSEP PEMIKIRAN BIROKRASI #MarxWebber)



Di susun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah
“Teori Birokrasi Publik”


Dosen Pengampuh oleh :
Dr. H. Slamet Muchsin, M.Si



Oleh :

Nizar Subqi Hamza     (21601091151)





JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2018


KONSEP PEMIKIRAN BIROKRASI
Birokrasi di dalam pandangan Marx Weber

Birokrasi dalam pandangan Marx Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
1.      tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 
2.      tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi; 
3.      jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); 
4.      aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan; 
5.      anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi; 
6.      pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 
7.      administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan 
8.      sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik. 
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut:
1.      para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; 
2.      terdapat hirarki jabatan yang jelas; 
3.      fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 
4.      para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 
5.      para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; 
6.      para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan; 
7.      pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 
8.      suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior); 
9.      pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan; 
10.  pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam. 
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
1.      Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 
2.      Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan. 
3.      Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut. 
4.      Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan. 
Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Birokrasi dalam pandangan Hegel
Dalam karyanya yang berjudul philosophy of right yang terbit tahun 1821 hegel mengembangkan suatu teori yang ia sebut “Universal Stand” . jadi istilah ini merujuk kepada kelompok fungsioner-fungsioner negara dan fungsi baru yang mereka jalankan sebagai hasil dari modernisasi pasca revolusi, dari sudut pandang hegel bahwa peran dari kelompok fungsioner-fungsioner negara tidak sepenuhnya Administratif , namun juga intelektual, dengan terserapnya mereka kedalam negara (pelayanan publik didalam masyrakat) intelektual itu menemukan jati diri mereka, ini disebakan karena negaralah dimana beragam kepentingan partikuar masyarakat sipil siselaraskan dan diangkat kelevel kepentingan umum yang lebih tinggi, jadi negara bersifat universal bagi hegel karna karena membebaskan kaum intelktual, karena didalam pelayanan atau masyarakat kaum intelektual (birokrasi) mampu menjalankan aktivitas mediasi, dan membawa kepentingan ketingakat umum yang lebih tinggi jadi bisa kita simpulkan bahwa dalam pandangan hegel birokrasi memiliki peran atau berperan sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan negara.
Menurut hegel bahwa keberadaan birokrasi pemerintahan dijadikan sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general (pemerintah)dan partikural (kekuatan politik dalam masyarakat). Dengan kata lain birokrasi Hegelian menekankan pada posisi birokrasi adalah posisi yang netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya.
Birokrasi dalam pandangan Karl Marx
Mungkin ketika kita berbicara tentang birokrasi, karlmarx tidak terlalu banyak menyinggung hal ini akan tetapi kita mampu menelusuri konsep tentang birokrasinya marx dalam hubungannya tentang negara karna dalam hal ini marx menggap bahwa birokasi sama halnya degan negara. Dalam pandangan marx tentang negara kita bisa melihat bahwa marx menggap pada hakikatnya negara adalah negara kelas, yaitu negara secara lansung atau tidak langsung dikuasai oleh orang-orang yang menguasai bidang ekonomi.
Jadi menurut marx bahwa negara bukanlah lembaga diatas masyarakat yang bertindak secara pamrih yang bersifat netral yang bertidak demi kepentingan umum akan tetapi alat ditangan para pemilik modal untuk mempertahankan kekuasaanya, sehingga wajar ketika kita melihat kebijakan yang dikeluarkan negara maka hanya mementingan segelitir kelompok kecil. Dengan begini berbeda dengan pandangan hegel yang mengatakan bahwa birokrasi adalah jembatan penghubung antara masyarakat dan negara, menurut marx birokrasi tidak lebih dari alat yang digunakan oleh orang yang menguasai bidang ekonomi untuk mewujudkan kepentigan partikular. Jadi birokasi tidak bertidak demi kepentigan universal atau umum akan tetapi kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya.
Kesimpualan yang bisa kita peroleh ialah keberadaan birokrasi pemerintah berpihak kekuatan politik yang memerintah, sedangkan hegel sebaliknya berada ditengah sebagai mediator yang menghubungakan kedua kepentingan general (pemerintah) dan masyrakat (pertikular)
Birokrasi dalam pandangan DAVID OSBORNE DAN TED GAEBLER (1993)
Birokrasi menurut pandangan David Orborne dan Ted Gaebler (1993) yaitu :
1.      Katalis (mengarahkan ketimbang mengayuh)
2.      Memberi wewenang ketimbang melayani
3.      Pemerintah yang kompetitif
4.      Digerakan oleh misi bukan aturan
5.      Berorientasi hasil bukan masukan
6.      Melayani pelanggan, bukan dilayani atau melayani diri sendiri
7.      Mengahsilkan ketimbang membelanjakan
8.      Antisipatif (mencegah daripada mengobati)
9.      Desentralisasi ketimbang sentralisasi
10.  Pemerintah berorientasi pasar.
Sedangkan Pandangan Terhadap Birokrasi David Osborne/Ted Gaebler menurut Miftah Thoha (2003)
1.      Konsep birokrasi pemerintahan ini banyak dipengaruhi konsep enterpreneurship (wirausaha) dunia swasta atau bisnis, sedangkan konsep birokrasi pemerintahan umumnya dipengaruhi konsep Weberian (birokrasi rasional, hirarki dan kaku). Pergeseran paradigma birokrasi pemrintahan ini tidak bisa segera diterapkan tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.
2.      Akan lebih mudah diterapkan di negara yang telah maju, kaya, berpendidikan, swasta atau masyarakat yang kuat dan mandiri, pasar bebas, berideologi liberal.
3.      Sulit diterapkan di negara komunis, dan juga di negara berkembang yang korup dan birokrasinya terlanjur buruk.
 
KRITIKAN BIROKRASI

Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi

Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.

Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”

Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.

Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme. 

Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.

R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
Kritik atas Pandangan Hegel mengenai Birokrasi

Hegel berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara antara negara (pemerintah)dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu sendiri terdiri dari kelompok-kelompok profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan particular (khusus). Diantara keduanya itu birokrasi pemerintah merupakan medium yang dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan patikular dengan kepentingan general.

Menurut hegel bahwa keberadaan birokrasi pemerintahan dijadikan sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general (pemerintah)dan partikural (kekuatan politik dalam masyarakat). Dengan kata lain birokrasi Hegelian menekankan pada posisi birokrasi adalah posisi yang netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya.

Menurut Hegel bahwa negara adalah sarana untuk kepentingan umum, artinya bahwa kepentingan umum ini suatu kepentingan yang berbeda dari kepentingan yang terpisah dan khusus dari para anggota masyarakat sipil.  Terdapat tugas eksekutif untuk menjalankan keputusan (kebijakan) tentang hakikat kepentingan umum tersebut. Tugas tersebut dipikul bersama dengan panitia penasihat kolegial, pejabat-pejabat negara yang diarahkan menurut prinsip pembagian kerja kemudian dialokasikan kepada departemen-departemen yang secara hirarkis diorganisir di bawah menteri-menteri. Nilai-nilai dan sikap-sikap para pejabat itu sendiri diilhami oleh perasaan keadilan dan tidak mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, kepentingan umum dapat dilaksanakan oleh negara dengan baik.
Kritik atas Pandangan Karl Marx mengenai Birokrasi
Pada prinsipnya, Marx menempatkan posisi birokrasi sebagai satu kelompok kepentingan tersendiri. Marx menekankan bahwa birokrasi juga merupakan klas tersendiri yang tidak mungkin netral melainkan berpihak pada klas yang berkuasa. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat ke dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatya birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.

Birokrasi adalah instrument yang digunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas klas-klas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada klas partikular yang mendominasi. Birokrasi sendiri pada tingkatan tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat  dengan klas yang dominan dan pada pemerintahan, eksistensinyab sangat tergantung pada klas yang dominan dan pada pemerintahan.

Birokrasi akan menjadi kekuatan yang otonomi dan opresif yang dirasakan oleh mayoritas rakyat atau masyarakat sebagai kekuatan yang misterius. Betapa tidak, disatu pihak birokrasi berbuat baik mengatur kehidupan rakyat akan tetapi dilain pihak kekuatan ini diluar jangkauan rakyat untuk mengontrolnya. Jika demikian birokrasi maka birokrasi itu menjadi kekuatan yang tertutup.

Kritik atas Pandangan David Osborn dan Ted Gaebler mengenai Birokrasi
Reinventing Government yang ditulis David Osborne dan Ted Geabler merupakan rujukan penting dalam melakukan reformasi birokrasi di Indonesia. Latar belakang penulisan buku tersebut yang merupakan refleksi atas keprihatinan mendalam terhadap birokrasi Amerika pada dasarnya juga merupakan keprihatinan banyak negara-negara di dunia termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Masalah kunci yang muncul sehubungan dengan kinerja birokrasi adalah sifatnya yang kaku, tidak fleksibel, kurang adaptif terhadap perkembangan pasar dan tidak peka terutama terhadap kepentingan kelompok-kelompok marginal. Terkait dengan permasalahan-permasalahan tersebut sudah selayaknya birokrasi di Indonesia melakukan introspeksi dan refleksi mendalam terhadap perkembangan organisasinya terlebih lagi ditengah-tengah tuntutan dinamika global, otonomi daerah dan demokratisasi yang terus berkembang. Osborne dan Geabler menawarkan perspektif baru dalam reformasi birokrasi melalui pendekatan yang dikenal dengan pendekatan entrepreneurship/kewirausahaan.
Pendekatan ini menganalogikan birokrasi seperti organisasi bisnis, yang luwes dan fleksibel yang dianggap lebih adaptif dalam merspon perkembangan lingkungan eksternal. Gagaan ini bukan tidak mendapatkan kritik, kritik Painter (1994) terhadap konsep pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia terlalu bias pada “new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance.
Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler menemukan titik relevansinya dalam konteks peningkatan kualitas pelayanan publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pelaksanaan 10 prinsip Reinventing Government, tentu harus disesuaikan dengan sosio-kultur kita, bisa menjadi solusi alternatif yang efektif untuk menghilangkan patologi-patologi birokrasi peradilan kita selama ini.


No comments:

Post a Comment